Produktivitas Seorang Muslim

Produktif merupakan salah satu sifat inti yang sangat didambakan oleh setiap manusia. Pengakuan eksistensi individu (juga sebuah kelompok) di lingkungan masyarakat akan ditentukan oleh ada tidaknya produktivitas individu tersebut. Oleh karena itu, seseorang yang tidak produktif biasanya akan digelari wujuduhu ka ‘adamihi, keberadaannya tidak berpengaruh dan tidak menimbulkan perubahan yang signifikan dan ketiadaannya pun tidak menimbulkan rasa kehilangan serta penurunan etos produktivitas yang lainnya.
Maka, sangatlah wajar bila dalam rangka memenuhi keinginan manusia untuk menjadi sosok yang produktif, dan eksistensinya secara sosial diakui, banyak konsep-konsep yang ditawarkan kepada mereka supaya bisa membangun dirinya menjadi manusia yang produktif. Semua konsep mempunyai misi tertentu, baik dalam pembentukan paradigma seseorang ataupun pembentukan visi dan misi hidupnya.
Oleh karena itu, banyak terdapat perbedaan asasi antara konsep yang ditawarkan oleh Islam (strategi Islam menciptakan manusia produktif) dengan konsep-konsep dari luar Islam. Misalnya, konsep-konsep dari luar Islam biasanya berorientasikan materi dan dunia serta menjauhkannya dari nilai-nilai ilahiyyah. Sedangkan konsep Islam adalah penggabungan keduanya. Konsep-konsep Islam mampu menembus dimensi basyariyah sekaligus dimensi ilahiyyah. Oleh karena itu, Islam bukanlah agama yang hanya mengurusi masalah-masalah vertikal saja, akan tetapi juga membahas masalah yang sifatnya horizontal. Islam adalah agama syamil, yang mengurusi semua aspek kehidupan manusia.
Islam merupakan agama ‘amali, agama yang mengutamakan nilai-nilai produktivitas secara sempurna dan syumuli, baik produktif dalam arti menghasilkan sebuah karya ataupun produktif dalam arti menghasilkan sebuah peningkatan serta perbaikan diri dan masyarakat. Oleh karena itu, produktivitas di sini didefinisikan sebagai semua hal yang mengandung nilai-nilai kebaikan (khairiyyah). Dan kita dituntut untuk melakukan hal ini.
Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS 22:77)
Sebelum masuk lebih lanjut kepada konsep Islam membina manusia menuju “sosok produktif”, ada satu persepsi yang harus kita samakan mengenai “manusia produktif” ini. Karena kebanyakan kita menggambarkan sosok ini dari satu dimensi saja. Manusia produktif ialah mereka yang memiliki banyak karya, aktif dan energik dalam bekerja. Ini tidaklah salah, akan tetapi bila kita melihat lagi dari kacamata Islam, kita akan mendapatkan bahwa semua nilai-nilai khairiyyah (kebaikan) dianggap suatu produktivitas manusia, duniawi dan ukhrawi.
Oleh karena itu, ada tiga jenis produktivitas manusia, produktivitas terhadap Allah (produktif dalam ibadah mahdhah, seperti shalat, shaum, dzikir, dan lain-lain), produktivitas terhadap diri sendiri (produktif dalam memenej diri, membangun dan membina kedewasaan, dan lain-lain) dan produktivitas terhadap sesama manusia (produktif dalam berbuat ishlah (perbaikan) masyarakat, baik berupa penularan gagasan dan pikiran (karya-karya ilmiah, ceramah dan dakwah) atau berupa tenaga dan jasa).
Islam –dengan ke-syumul-annya– menawarkan konsep “manusia produktif” kepada setiap orang sekaligus mengantarkan mereka menembus nilai-nilai ilahiyyah yang sering tertutup oleh tabir kegelapan jahiliyyah. Sekurang-kurangnya ada empat prinsip yang dapat penulis utarakan sebagai konsep Islam dalam membina manusia menjadi muslim produktif, duniawi dan ukhrawi.
Yang pertama, mengubah paradigma hidup dan ibadah. Dalam Islam, hidup bukanlah menuju kematian, akan tetapi menuju kehidupan yang abadi. Hidup merupakan ladang yang akan dituai hasilnya di kehidupan abadi nanti. Sehingga hidup ini merupakan durasi penyeleksian manusia dari amalan-amalannya, dari produktivitasnya di pentas dunia. Mana di antara mereka yang tingkat produktivitasnya tinggi dan mana yang tidak. Allah swt berfirman:”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(QS 67:2)
Juga dalam ayat yang lain,”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS 51:56)
Apabila paradigma (cara pandang) terhadap hidup dan ibadah mulai diarahkan sesuai dengan tuntunan Islam, maka peningkatan produktivitas setiap muslim akan mengalami lonjakan kenaikan yang tinggi. Adapun keterbelakangan umat Islam sekarang ini ialah disebabkan oleh salahnya cara pandang mereka terhadap hidup dan ibadah ini, mereka memisahkan wilayah kehidupan dengan agama, dunia dengan akhirat. Padahal sebenarnya Islam merupakan penghubung antara dunia dan akhirat.
Yang kedua, memelihara kunci produktivitas, yaitu hati. Rasulullah saw bersabda: “Ingatlah dalam diri manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka akan baiklah seluruh jasadnya. Dan apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh jasadnya, itu tidak lain adalah hati”.
Hati merupakan “ruh” bagi semua potensi yang kita miliki. Pikiran dan tenaga tidak akan tercurahkan serta tersalurkan dalam suatu bentuk ‘amaliyah khairiyyah (bernilai produktif) jika kondisi hati ini mati atau rusak. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadits di atas. Kalaupun ada, maka itu secara zhahir saja dan tidak menyentuh nilai-nilai ilahiyyah.
Hati yang terpelihara dan terlindungi akan memancarkan energi yang mendorong manusia untuk beramal lebih banyak dan lebih berkualitas lagi. Produktivitasnya akan terjaga bahkan akan terus bertambah sedikit demi sedikit. Dan tidak hanya itu, ‘amaliyah-nya (produktivitas) pun akan mempunyai nilai yang abadi. Nilai ini adalah nilai keikhlasan yang jauh dari kepentingan-kepentingan pribadi dan duniawi. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya”.
Yang ketiga, bergerak dari sekarang. Seorang sahabat pernah berkata: “Jika engkau di pagi hari maka janganlah menunggu nanti sore, dan jika engkau di sore hari maka janganlah menunggu waktu besok”.
Prinsip “bergerak dari sekarang” ini menunjukan suatu etos kerja yang tinggi dan hamasah (semangat) beramal yang menggebu-gebu. Seorang muslim sangatlah tidak pantas jika menunda-nunda suatu amal, karena waktu dalam pandangan Islam sangatlah mahal (oleh karena itu, dalam Alquran Allah swt banyak bersumpah dengan waktu), Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna mengatakan bahwa “waktu adalah kehidupan” .
Dari prinsip ini, akan terlahir sosok-sosok manusia ‘amali. Manusia yang senantiasa menghiasi waktunya dengan produktivitas yang tinggi akan menjauhi hal-hal yang akan mengantarkannya kepada suatu yang tidak produktif. Dan inilah sosok muslim yang ideal sebagaimana yang telah digambarkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya, ia berkata: “Di antara tanda bagusnya Islam seseorang, ia senantiasa meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya”.
Yang keempat, kontinuitas dalam beramal. Dalam Islam, masa produktif ialah sepanjang hayat, selama ia masih menghirup kehidupan, maka ia dituntut untuk terus beramal dan menjaga produktivitasnya, walaupun amalan itu dilakukan sedikit demi sedikit.
Aisyah pernah menceritakan bahwa suatu waktu Rasulullah saw pernah ditanya mengenai amalan yang paling dicintai oleh Allah, Maka Rasul pun spontan menjawab: “Yang dilakukan secara terus menerus, walaupun sedikit” (al-Hadits)
Dengan prinsip kontinuitas ini, maka Islam dapat menjaga kestabilan produktivitas seorang muslim. Islam tidak membiarkan seorang muslim beramal “besar” kemudian setelah itu padam dan surut kembali. Dorongan kontinu (dawam) dalam beramal dengan bentuk ahabul a’mali ilallah (yang paling disukai oleh Allah) merupakan dorongan terbesar bagi setiap muslim untuk senantiasa terus produktif dan menjaga produktivitasnya.
Inilah di antara prinsip-prinsip keislaman yang akan mengantarkan manusia menjadi insan ‘amali, insan produktif sepanjang hayat. Sekarang tinggal tugas kita, apakah prinsip-prinsip tersebut hanya akan dijadikan sebuah konsep belaka, ataukah akan dijadikan sebagai “ruh” kehidupan kita, sehingga diri kita menjadi “Islam yang berjalan” dan petunjuk-petunjuk ilahiyyah betul-betul teraplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Wallahu a’lam

Songsong Ramadhan, Rindu Kumandang Adzan

Di sebuah toko Maroko di Frankfurt am Main, seorang muslimah bernama Shalihah bertutur betapa bahagianya para muslim di Jerman dalam menyambut bulan Ramadhan. ”Insya Allah tak ada masalah berpuasa di sini. Asal kita berusaha mengikuti segala perintah Allah dan berusaha mengekang hawa nafsu.”, ucapnya. ”Namun ada satu hal yang terasa kurang. Waktu menunggu berbuka puasa kita tak pernah mendengar suara adzan Maghrib berkumandang.”
Adzan sebenarnya masih dikumandangkan di masjid-masjid, namun suaranya tidak boleh sampai menggema keluar seperti di Indonesia, karena bisa dianggap melanggar peraturan umum. Muhammad Stefan, seorang muslim asli Jerman mengatakan kerinduannya yang mendalam untuk mendengar suara panggilan shalat itu. Lantas dia men-download program Adzan dari situs-situs Islam di internet pada komputernya, sehingga segera tahu kapan saatnya shalat, imsa’, dan iftar (berbuka puasa).
Sekitar 500.000 orang asli Jerman telah memeluk agama Islam dari total kira-kira empat juta muslim di Jerman. Kebanyakan mereka memeluk Islam melalui pernikahan, namun tak sedikit juga yang masuk Islam karena pemikirannya sendiri, setelah membaca, berdiskusi dan berinteraksi dengan para muslim. Beberapa di antara mereka telah mengganti nama depan khas Jermannya dengan nama muslim. Wolfgang sekarang dikenal sebagai Muhammad, Manfred sebagai Khamis, Walter sebagai Rashid, Michael sebagai Omar, Andreas sebagai Ismael, Gerhard sebagai Abdel Qadir, Bernd sebagai Khalid. Para muslimahpun tak ketinggalan, Brigette sekarang dipanggil Khadijah. Subhanalah! Merubah nama memang tidak wajib, tapi setidaknya membantu menjembatani gap dalam komunikasi Islami di antara muslimin dan muslimah. Mereka telah menganut Islam lebih dari 30 dan 40 tahun yang lalu dan jangan kaget karena mereka fasih berbahasa Arab.
***
Di Mörfelden, sebuah kota kecil tempat saya pernah tinggal, ada sebuah masjid Turki yang cukup megah. Masjid itu memberikan contoh bagus yang bisa ditiru oleh masjid di Indonesia yaitu tentang kemandirian untuk mendanai aktivitas dakwah. Dalam satu kompleks masjid, terdapat ”rumah dinas” untuk imam selain toko yang menjual barang kebutuhan sehari-hari dan makanan halal. Bahkan ada tempat potong rambut pria murah. Solidaritas muslim Turki juga kuat. Mereka menjadi konsumen setia dari usaha tersebut yang berarti menambah pula kas masjid. Infaq dan shodaqoh yang mereka berikan tidak tanggung-tanggung. Para pengusaha Turki yang sukses tidak segan-segan untuk memasukkan lembaran uang 50 Euro (sekitar Rp 600 ribu) ke dalam kotak shodaqoh di masjid. Tetapi yang lebih menggembirakan adalah semakin bertambahnya jumlah muslim yang melaksanakan ibadah ke masjid. Selain itu, mereka juga mengadakan pengajian untuk anak-anak dan remaja yang terutama ditujukan untuk mempelajari Al-Qur’an dan menjauhkan mereka dari pengaruh budaya Barat yang merusak.
Menarik juga cerita dari sebuah masjid Arab di Heidelberg. Imam masjid itu seorang kulit hitam bernama Yusuf dari Tunisia. Hebatnya, ia pernah kuliah Economic Management di California, Amerika, tapi begitu selesai ia meneruskan studinya dengan mengambil Ilmu Fiqh di Madinah, Saudi Arabia. Setelah lulus ia langsung ke Jerman untuk berdakwah di masjid itu. Jadinya, pengetahuannya luas; bahasa Arab, Inggris, dan Jerman sama fasihnya. Di masjid Arab itu tersedia fasilitas perpustakaan, komputer dan internetnya, dan sokongan dana yang cukup untuk mendukung aktivitas dan pemeliharaan masjid.
Namun di balik itu semua, bukan rahasia lagi umat Islam mendapat perlakuan diskriminatif di negara Barat termasuk Jerman. Mulai dari cap terorisme di mana beberapa rekan sempat diperiksa polisi di stasiun kereta gara-gara berwajah Timur Tengah, larangan karyawati kantor pemerintah Jerman termasuk para guru untuk memakai kerudung, sampai pembakaran masjid. Dari berita di TV, internet, dan koran, banyak umat muslim yang lahir atau sudah sangat lama menetap di Jerman masih dianggap sebagai tamu asing dan warga kelas dua.
Alhamdulillah, ada angin baik berhembus pada saat ini. Beberapa minggu menjelang Ramadhan tahun lalu ratusan masjid yang tersebar di berbagai kota di seluruh Jerman secara serentak menggelar acara ‘Masjid Terbuka’ (Tag der offenen Moschee). Acara besar-besaran ini telah menarik ribuan pengunjung dari dalam dan luar Jerman, baik Muslim maupun non Muslim. Acara yang digelar antara lain pameran buku-buku mengenai Islam, seminar, diskusi podium tentang masalah keislaman maupun isu-isu kontemporer menyangkut Dunia Islam. Tujuan utama acara ini, di samping untuk memperkenalkan Islam ke masyarakat luas, juga untuk meluruskan kesalahpahaman dan membangun imej yang positif seputar Islam dan umat Islam di Eropa, dan Jerman khususnya.
***
Kegiatan Ramadhan dan Idul Fitri, di samping sebagai ibadah ritual, juga dimaksudkan untuk syiar Islam. Masyarakat Jerman baik muslim maupun nonmuslim perlu diberitahu mengenai Islam yang sebenarnya, bukan seperti yang diberitakan secara keliru oleh sebagian besar media massa. Kegiatan ini merupakan penyeimbang dari dakwah lain yang dilakukan baik secara nyata maupun melalui dunia maya (internet).
Ada satu kebanggaan dalam diri umat muslim yang tinggal di Jerman dan negara-negara Barat lainnya. Mereka secara kompak berusaha untuk tidak larut dalam gelombang kehidupan masyarakat Barat yang bisa-bisa menyimpangkan aqidah mereka dari jalan yang lurus. Mereka kebanyakan menjadi golongan minoritas di lingkungan tempat tinggalnya, namun Islam telah ada selama bertahun-tahun sehingga orang-orang setempat mulai bisa menerima cara hidup yang islami ini. Yang paling penting adalah muslim di Jerman dan negara-negara Barat lainya telah menemukan kebenaran yang hakiki dari Tuhannya. Mereka dengan ikhlas menerima, mengikuti, dan melaksanakan ajaran Islam, apapun dan bagaimanapun pemikiran atau pendapat dari pemerintah dan bangsanya sendiri.