Bila Aku Harus Menikah

Bila Aku Harus Menikah

Beberapa hari yang lalu, salah satu sahabat saya bertanya tentang kapan saya akan menggenapkan separuh dien saya. Mmhh.. pertanyaan yang berat untuk saya jawab :). Terus terang, usia saya sudah kena lampu kuning untuk ukuran standar wanita menikah. Bisa dibilang usia yang matang. Tapi tunggu dulu, usia seseorang tidak menjamin kematangan seseorang, baik cara pandang maupun pemikiran. Dan ukuran matang tidaknya seseorangpun tidak ada parameter/spesifikasi yang jelas.
Soal menggenapkan separuh dien, saya juga tahu kalo menikah itu sunnah Rosul. Tapi, menikah itu bukan hanya mempertemukan seorang lelaki dan seorang wanita saja. Menikah juga merupakan pertemuan dakwah, pertemuan yang akan meningkatkan ghirah perjuangan dan produktifitas dakwah sehingga terjadi persebaran dakwah yang lebih luas lagi (Red. Catatan Seorang Ukhti). Tuh kan.. nikah itu bukan maen-maen ?! Ada hal yang lebih berat lagi selain kesenangan dan itu jelas-jelas akan dituntut pertanggungjawabannya dipengadilan akhir nanti.
Oke, saya akan segera menikah. Tapi calon yang seperti apa? Menurut pendapatnya Syeikh Musthafa Masyhur, Untuk membangun keluarga muslim yang dilandasi taqwa, pertama kali seorang muslim harus mencari pasangan yang baik keislamannya dan yang memahami tugas risalah hidupnya. Menjadikan pasangan hidupnya sebagai sahabat dakwah yang baik, yang selalu mengingatkan bila ia lupa, memberi dorongan dakwah dan tidak menghalanginya. Nah kan, berarti, saya harus mencari pasangan yang baik keislamannya dan memahami tugas risalah hidupnya (dengan kata lain adalah orang yang sholeh).
Soal sholeh, dulu saya menganggap, dengan sholeh saja maka sifat-sifat istimewa lainnya akan mengikuti. Ternyata tidak. Selain kriteria sholeh, kita juga harus bisa mengenali keistimewaan sang calon dimata kita. Untuk apa ? Ya.. agar hidup kita lebih berwarna dengan kehadirannya. Karena menikah bukan hanya untuk satu atau dua tahun kedepan saja, tapi bisa jadi seumur hidup kita, sepanjang nafas keluar dari ruh kita. Bisa dibayangkan, kalo ternyata sang calon tidak memiliki keistimewaan tersendiri dihati kita, bagaimana warna hidup kita kelak ?! Pucat pasi tanpa warna. Dan soal Falling in love at the first sight ?! Mmhh .. kenapa enggak ?
Begitu pula saya. Saya ingin dinikahi bukan semata-mata karena sang calon melihat kelebihan saya saja (kalau ada). Saya ingin dinikahi seseorang karena saya istimewa dimatanya, dapat membuat binar pelangi kebahagiaan yang tulus diwajahnya, serta dapat membumikan cinta kedalam hatinya. Dan dengan senyum tulusnya pula, dia mampu membuat hati saya bergetar penuh syukur keharuan akan anugerahNya.
Ya Rabbi, anugerahkanlah hamba salah seorang hambaMu yang sholeh yang dapat menjadikan hamba seorang istri yang sholehah, yang dapat menjadikan hamba ibunda dari para jundi-jundiMu, yang dapat membantu hamba menegakkan dienMu, membahagiakan kedua orang tua kami, meninggalkan dunia ini dalam keadaan khusnul khatimah, dan menjadikan hamba akhlus surga .. Amin ya Allah ya robbal alamin..

Wallahualam bish showab

Perbedaan tentang Batasan Bid’ah

Perbedaan tentang Batasan Bid’ah

Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Para ulama memang berbeda pendapat ketika mendefinisikan bid’ah. Definisi oleh para ulama tentang isitlah ini ada sekian banyak versi. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.

Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Ke-Islaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid’ah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.

Tapi kalau kita tarik garis umum, paling tidak ada dua kecenderungan ulama dalam masalah ini.

Kelompok Pertama

Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.

a. Tokoh

Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-‘Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan Hanafiyah seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.

Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.

b. Contoh

Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.

c. Dalil

Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut:

Perkataan Umar bin Al-Khattab ra. tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu:

Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.

Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.

Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut:

Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.

Kelompok Kedua

Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.

Di antara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.

a. Tokoh

Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.

b. Contoh

Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).

c. Dalil

Dalil yang mereka gunakan adalah:

Bahwa Allah SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap di antaranya adalah fiman Allah SWT:

… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…(QS. Al-Maidah: 3)

Juga ayat berikut:

dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An`am: 153)

Setiap ada hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut:

Klasifikasi Lain

Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bid’ah terbagi dua:

a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)

b. Bid’ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asal dalam beragama adalah at-tauqief (menunggu dalil).

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak” (HR Muslim 1817)

Namun dalam kaitannya dengan bid’ah dalam agama, para ulama ternyat juga masih memilah lagi menjadi dua bagian:

Pertama: Bid’ah perkataan yang berkaitan dengan masalah I’tiqod, seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.

Kedua: Bid’ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:

a. Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu

b. Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.

c. Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya di luar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.

d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.

Wallahu a`lam bishshawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memuliakan Wanita

Rabi’ bin Khaitsam adalah seorang pemuda yang terkenal ahli ibadah dan tidak mau mendekati tempat maksiat sedikit pun. Jika berjalan pandangannya teduh tertunduk. Meskipun masih muda, kesungguhan Rabi’ dalam beribadah telah diakui oleh banyak ulama dan ditulis dalam banyak kitab. Imam Abdurrahman bin Ajlan meriwayatkan bahwa Rabi’ bin Khaitsam pernah shalat tahajjud dengan membaca surat Al Jatsiyah. Ketika sampai pada ayat keduapuluh satu, ia menangis. Ayat itu artinya, ” Apakah orang-orang yang membuat kejahatan (dosa) itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka sama dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka. Amat buruklah apa yang mereka sangka itu! “

Seluruh jiwa Rabi’ larut dalam penghayatan ayat itu. Kehidupan dan kematian orang berbuat maksiat dengan orang yang mengerjakan amal shaleh itu tidak sama! Rabi’ terus menangis sesenggukan dalam shalatnya. Ia mengulang-ngulang ayat itu sampai terbit fajar.

Kesalehan Rabi’ sering dijadikan teladan. Ibu-ibu dan orang tua sering menjadikan Rabi’ sebagai profil pemuda alim yang harus dicontoh oleh anak-anak mereka. Memang selain ahli ibadah, Rabi’ juga ramah. Wajahnya tenang dan murah senyum kepada sesama.

Namun tidak semua orang suka dengan Rabi’. Ada sekelompok orang ahli maksiat yang tidak suka dengan kezuhudan Rabi’. Sekelompok orang itu ingin menghancurkan Rabi’. Mereka ingin mempermalukan Rabi’ dalam lembah kenistaan. Mereka tidak menempuh jalur kekerasan, tapi dengan cara yang halus dan licik. Ada lagi sekelompok orang yang ingin menguji sampai sejauh mana ketangguhan iman Rabi’.

Dua kelompok orang itu bersekutu. Mereka menyewa seorang wanita yang sangat cantik rupanya. Warna kulit dan bentuk tubuhnya mempesona. Mereka memerintahkan wanita itu untuk menggoda Rabi’ agar bisa jatuh dalam lembah kenistaan. Jika wanita cantik itu bisa menaklukkan Rabi’, maka ia akan mendapatkan upah yang sangat tinggi, sampai seribu dirham. Wanita itu begitu bersemangat dan yakin akan bisa membuat Rabi’ takluk pada pesona kecantikannya.

Tatkala malam datang, rencana jahat itu benar-benar dilaksanakan. Wanita itu berdandan sesempurna mungkin. Bulu-bulu matanya dibuat sedemikian lentiknya. Bibirnya merah basah. Ia memilih pakaian sutera yang terindah dan memakai wewangian yang merangsang. Setelah dirasa siap, ia mendatangi rumah Rabi’ bin Khaitsam. Ia duduk di depan pintu rumah menunggu Rabi’ bin Khaitsam datang dari masjid.

Suasana begitu sepi dan lenggang. Tak lama kemudian Rabi’ datang. Wanita itu sudah siap dengan tipu dayanya. Mula-mula ia menutupi wajahnya dan keindahan pakaiannya dengan kain hitam. Ia menyapa Rabi’,

” Assalaamu’alaikum, apakah Anda punya setetes air penawar dahaga? ” ” Wa’alaikumussalam. Insya Allah ada. Tunggu sebentar.” Jawab Rabi’ tenang sambil membuka pintu rumahnya. Ia lalu bergegas ke belakang mengambil air. Sejurus kemudian ia telah kembali dengan membawa secangkir air dan memberikannya pada wanita bercadar hitam.

” Bolehkah aku masuk dan duduk sebentar untuk minum. Aku tak terbiasa minum dengan berdiri.” Kata wanita itu sambil memegang cangkir. Rabi’ agak ragu, namun mempersilahkan juga setelah membuka jendela dan pintu lebar-lebar. Wanita itu lalu duduk dan minum. Usai minum wanita itu berdiri. Ia beranjak ke pintu dan menutup pintu. Sambil menyandarkan tubuhnya ke daun pintu ia membuka cadar dan kain hitam yang menutupi tubuhnya. Ia lalu merayu Rabi’ dengan kecantikannya.

Rabi’ bin Khaitsam terkejut, namun itu tak berlangsung lama. Dengan tenang dan suara berwibawa ia berkata kepada wanita itu, ” Wahai saudari, Allah berfirman, ” Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. ” Allah yang Maha pemurah telah menciptakan dirimu dalam bentuk yang terbaik. Apakah setelah itu kau ingin Dia melemparkanmu ke tempat yang paling rendah dan hina, yaitu neraka?!

” Saudariku, seandainya saat ini Allah menurunkan penyakit kusta padamu. Kulit dan tubuhmu penuh borok busuk. Kecantikanmu hilang. Orang-orang jijik melihatmu. Apakah kau juga masih berani bertingkah seperti ini ?!

” Saudariku, seandainya saat ini malaikat maut datang menjemputmu, apakah kau sudah siap? Apakah kau rela pada dirimu sendiri menghadap Allah dengan keadaanmu seperti ini? Apa yang akan kau katakan kepada malakaikat munkar dan nakir di kubur? Apakah kau yakin kau bisa mempertanggungjawabkan apa
yang kau lakukan saat ini pada Allah di padang mahsyar kelak?! “

Suara Rabi’ yang mengalir di relung jiwa yang penuh cahaya iman itu menembus hati dan nurani wanita itu. Mendengar perkataan Rabi’ mukanya menjadi pucat pasi. Tubuhnya bergetar hebat. Air matanya meleleh. Ia langsung memakai kembali kain hitam dan cadarnya. Lalu keluar dari rumah Rabi’ dipenuhi rasa takut kepada Allah swt. Perkataan Rabi’ itu terus terngiang di telinganya dan menggedor dinding batinnya, sampai akhirnya jatuh pingsan di tengah jalan. Sejak itu ia bertobat dan berubah menjadi wanita ahli ibadah.

Orang-orang yang hendak memfitnah dan mempermalukan Rabi’ kaget mendengar wanita itu bertobat. Mereka mengatakan, ” Malaikat apa yang menemani Rabi’. Kita ingin menyeret Rabi’ berbuat maksiat dengan wanita cantik itu, ternyata justru Rabi’ yang membuat wanita itu bertobat! “

Rasa takut kepada Allah yang tertancap dalam hati wanita itu sedemikian dahsyatnya. Berbulan-bulan ia terus beribadah dan mengiba ampunan dan belas kasih Allah swt. Ia tidak memikirkan apa-apa kecuali nasibnya di akhirat. Ia terus shalat, bertasbih, berzikir dan puasa. Hingga akhirnya wanita itu wafat dalam keadaan sujud menghadap kiblat. Tubuhnya kurus kering kerontang seperti batang korma terbakar di tengah padang pasir.

Sumber : Buku ” Di Atas Sajadah Cinta. Kisah-Kisah Teladan Islami Peneguh Iman dan Penenteram Jiwa – Habiburrahman El Shirazy “

Liberalisasi dan perempuan

Liberalisasi menyusup dunia perempuan. Salah satunya di tandai dengan di buatnya film Perempuan Berkalung Sorban yang di rilis Januari 2009 lalu. Film besutan sutradara Hanung Bramantyo yang di danai oleh The Ford Foundation ini mengesankan bahwa hak asasi perempuan telah terkungkung. Hal ini sengaja di tonjolkan sebagai alat untuk memasarkan konsep persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang terus digencarkan kaum liberal. Nilai-nilai kebebasan hendak di cekokan ke benak kaum permpuan dengan berbagai cara terutama pada muslimah yang masih hidup taat dengan syari’ah di bidik agar mengadopsi nilai-nilai liberal tersebut.Belum lagi adanya eksploitasi perempuan di segala bidang, 70-80% lapangan pekerjaan disediakan untuk perempuan sehingga menggiring mereka meninggalkan rumah untuk menjadi pekerja diranah public. Mulai jadi buruh pabrik, pegawai kantoran, sampai jadi TKW di luar negri yang di sebut sebagai pahlawan devisa Negara. Namun, tidak semua dari para TKW itu beruntung, terkadang mereka juga harus menanggung siksaan dan pelecehan dari majikanya.

Fenomena tersebut melengkapi derita kaum perempuan yang terpaksa mengais rejeki di negri seberang akibat sulitnya kehidupan di Negri ini. Eksploitasi perempuan pun terjadi melalui ajang Miss Universe dan putri Indonesia. Dalam konteks tersebut mereka rela berbikini ria demi merebut mahkota ratu sejagad raya dan mengaku bangga ikut serta di ajang maksiat tersebut. Terpilihnya Qori Sandioriva (18 ) sebagai putri Indonesia 2009 dari Nangroe Aceh Darusalam adalah karena ia berani menanggalkan busana muslimahnya untuk di jadikan ikon kebebasan perempuan yang mempengaruhi citra perempuan aceh pada khususnya dan muslimah pada umumnya yang identik dengan pakaian menutup aurat.
Benarkah liberalisasi perempuan akan memajukan perempuan? Kalangan feminis menyakini bahwa liberalisasi atau pembebasan perempuan merupakan fondasi untuk mencapai kemajuan karena menurut mereka tatkala perempuan berhasil memperoleh kebebasan dan independensinya berarti mereka telah terbebas dari batasan-batasan kultural dan struktural yang di anggap sebagai penghambat kehidupan mereka. Gagasan liberalisasi ini kemudian menjadi salah satu gagasan sentral bagi perjuangan mereka dan menjadikan kemajuan perempuan barat sebagai model.

Dalam hal ini atas nama liberalisasi kaum perempuan bebas mengekspresikan dirinya, bekerja di bidang apapun yang di inginkanya dan berbuat apapun tanpa harus merasa takut batasan kodratnya sebagai perempuan yang selama ini di anggap mengekang mereka. Di As tercatat jumlah presentase perempuan bekerja meningkat dari tahun ke tahun hingga lebih dari 75 % pada tahun 2000. Demikian juga di Indonesia, meningkatnya jumlah perempuan terdidik di banding laki-laki dan meningkatnya partisipasi formal perempuan, termasuk yang banyaknya perempuan yang berkiprah di bidang pemerintahan di negri-negri tersebut di anggap sebagai “Prestasi” atas keberhasilan perjuangan pembebasan perempuan di manapun.

Akan tetapi, keberhasilan ini ternyata membawa berbagai dampak bagi perempuan dan masyarakat secara keseluruhan akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran diantara laki-laki dan perempuan. Diantaranya runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, merebaknya free seks, meningkatnya kasus-kasus aborsi , dilema perempuan kariri, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain di tengarai kuat menjadi efek langsung dari gagasan kebebasan perempuan. Wajar jika pada perkembangan selanjutnya muncul sikap penentangan dari sebagian masyarakat yang “masih sadar” atas bahaya racun yang tersembunyi di balik tawaran manis feminisme ini. Sayangnya, semangat penolakan terhadap gagasan feminisme ini kalah gencar di bandingkan dengan janji-janji manis yang di tawarkanya. Dengan mencermati fakta-fakta tersebut, jelas bahwa liberalisasi perempuan hanyalah jargon kosong yang tak layak di emban apalagi di perjuangkan.

Islam Memuliakan Perempuan

Munculnya gagasan bahwa syari’at Islam merendahkan kaum perempuan sesungguhnya di latar belakangi oleh semangat liberalisasi dan sekulerisasi wajah Islam yang menurut para pengusungnya (di Indonesia antara lain di usung oleh JIL) bertujuan membebaskan Islam dari ortodoksi dan menjadikan Islam sebagai agama yang kompatibel dengan perubahan zaman. Padahal gagasan mereka tak lebih dari bentuk ekspresi keputus asaan untuk mengcounter munculnya gagasan penegakan syari’at Islam yang kini justru kian mencuat ke permukan. Dimana Islam memandang bahwa keberadaan perempuan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari laki-laki. Keduanya di ciptakan untuk mengemban tanggung jawab yang sama dalam mengatur dan memelihara kehidupan ini sesuai kehendak Allah SWT sebagai pencipta dn pengatur makhluk Nya. (QS.91:71,51:56).

Pada tataran yang praktis, Islam telah memberi aturan yang rinci berkenaan dengan peran dan fungsi masing-masing dalam menjalani kehidupan ini. Adakalanya sama dan adakalanya berbeda. Hanya saja adanya perbedaan dan persamaan pada pembagian peran dan fungsi masing-masing ini tidak bisa di pandang sebagai adanya kasetaraan dan ketidak setaraan gender. Pembagian tersebut semata-mata merupakan pembagian tugas yang di pandang sama-sama pentingnya di dalam upaya mewujudkan tujuan tertinggi kehidupan masyarakat yakni tercapainya kebahagiaan hakiki di bawah keridhoan Allah SWT semata. Sebagaimana telah di maklumi kewajiban mencari nafkah telah di bebankan oleh Allah atas laki-laki (albaqarah (2) : 233,QS. At-Talaq : 6). Sebaliknya perintah untuk mendidik anak di tujukan kepada ayah dan ibu (At-Tahrim : 6).

Jadilah pembagian tersebut, dimana perempuan lebih mengutamakan tugasnya di rumah tangga. Sementara laki-laki mencari nafkah di luar rumah. Demikian juga jika kita perhatikan dengan cermat Islam sangat melindungi dan menjaga kehormatan perempuan. Misalnya, ayat alqur’an mengenai aturan memakai kerudung (An-Nur 24 : 31) dan jilbab (al-ahzab 33 : 59). Kedua ayat ini menjelaskan bahwa Islam sangat melindungi dan menjaga kehormatan perempuan dengan memerintahkannya untuk menutup tempat-tempat perhiasannya sehingga terhindar dari orang-orang yang akan mengganggu atau menyakitinya. Sementara itu Rosulullah saw bersabda : “Tidak di perbolehkan seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali jika di sertai mahramnya” (HR. Bukhari). Hadis ini mencerminkan betapa Islam melindungi dan menjaga kehormatan para perempuan.

Disamping itu, banyak hadis lain yang memerintahkan para suami untuk memperlakukan istrinya dengan ma”ruf dalam kehidupan rumah tangga. Seandainya konsep ini di pakai maka tidak akan ada kasus KDRT yang merupakan salah satu ide absurd yang di usung oleh barat dalam rangka menghancurkan keluarga muslim merupakan satu-satunya benteng penyelamat terakhir generasi muslim yang tangguh. Selain itu adanya larangan berkhalwat (berdua-dua-an)seorang pria dan seorang perempuan kecuali di temani mahram adalah semata-mata bertujuan untuk melindungi dan menjaga kehormatan perempuan. Bukan mengekang kebebasan para perempuan sebagaimana yang di tuduhkan kaum liberalis. Sebab, Islam tidak pernah melarang perempuan keluar rumah atau bahkan bekerja atau beraktivitas di luar rumah selama terpenuhi seluruh ketentuan-ketentuan Islam atas nya. Juga selama ia tidak melalaikan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Bahkan kewajiban menuntut ilmu pun tidak hanya di wajibkan bagi setiap muslim laki-laki namun di wajibkan pula bagi setiap muslim perempuan. Sebagaimana sabda Rosulullah saw : “Menuntut ilmu di wajibkan atas setiap muslimin dan muslimat”

Dari beberapa hadis di atas dapatlah di pahami bahwa Islam benar-benar menghargai dan memuliakan kaum hawa. Banyaknya pujian yang di berikan oleh Allah dan Rosul-Nya terhadap kaum perempuan mengandung makna bahwa Islam meninggikan derajat kaum perempuan. Sedikitpun tidak menempatkn perempuan pada posisi nomer dua setelah laki-laki. Artinya Islam tidak pernah berlaku tidak adil pada perempuan bahkan sangat memuliakannya. Ini di buktikan dalam hadis Nabi : “Seseorang pernah bertanya kepada Rosulullah SAW. Siapa orang yang paling berhak di perlakukan dengan baik? Rosul menjawab : Ibumu, Ibumu, Ibumu, lalu bapakmu. Baru kemudian orang yang lebih dekat dan seterusnya”.(HR. Muslim). Dengan demikian telah terbukti bahwa islam mampu menjadi solusi selama berabad-abad untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia termasuk permasalahan perempuan. Lalu mengapa kita masih mencoba mencari solusi dengan sistem/aturan lain yang faktanya malah menghancurkan institusi keluarga dan masyrakat muslim pada umumnya. Masihkah kita mencurigai Islam sebagai pengekang hak-hak perempuan? Atau masih perlukah perempuan menuntut emansipasi atau kesetaraan dengan posisinya yang begitu mulia?

Oleh karena itu, munculnya gagasan bahwa syari’at Islam merendahkan perempuan harus di sikapi dengan benar. Jika dalih yang mereka gunakan adalah fakta bahwa kaum perempuan di dunia Islam berada dalam kondisi terpuruk tidak bisa di ambil solusi secara parsial dengan menyerukan emansipasi karena pada fakta nya malah menimbulkan permasalahan baru dengan banyaknya anak-anak yang broken home dan lose generation,ketidak harmonisan dan perpecahan keluarga dan sebagainya. Namun harus di lihat bahwa pada kenyataannya saat ini tidak ada satu pun negeri Islam yang menerapkn syari’at Islam sebagai aturan kehidupan yang utuh dan menyeluruh (kaffaah) dalam institusi khilafah (pemerintahan islam). Justru berbagai kerusakan dan ketidak adilan yang terjadi saat ini termasuk di antaranya yang menimpa perempuan adalah akibat di terapkannya sistem yang salah dan rusak di tengah-tengah kaum muslimin. Yakni sistem kapitalisme yang tegak di atas aqidah sekulerisme yang telah memberikan kewenangan secara mutlak kepada manusia yang akalnya lemah dan terbatas untuk membuat berbagai aturan atau sistem kehidupan. Sistem seperti inikah yang kita yang kita pertahankan???wallahu a’lam bishawaba’lam bishawab

Akta Kelahiran Hak Masyarakat atas Identitas

Akta Kelahiran Hak Masyarakat atas Identitas

Realisasi Kebijakan Akta Gratis Melalui

Alokasi Anggaran Khusus

Enam dari sepuluh anak Indonesia tidak diakui keberadaannya oleh Pemerintah. Hal ini disebabkan karena mereka tidak tercatat pada catatan sipil.  Dengan demikian hanya 40% tingkat pencatatan kelahiran di Indonesia. Berarti Pemerintah telah berlaku diskriminatif terhadap sebagian besar anak-anak dan warga negaranya. Akibatnya anak-anak yang tidak memiliki identitas rentan terhadap eksploitasi.[1] Umumnya anak-anak yang menjadi korban eksploitasi tidak memiliki catatan sehingga pemalsuan jati diri anak seringkali dijadikan modus operandi sebagai seringkali terjadi pada kasus-kasus trafficking. Oleh karena itu salah satu upaya untuk melindungi anak-anak melalui pemberian akta kelahiran.

Sebagai bagian sistem pencatatan sipil, pencatatan kelahiran berfungsi untuk menentukan dan menetapkan status keperdataan (sipil) seseorang dalam wilayah hukum suatu negara.  Pencatatan ini merupakan bagian dari hak sipil yang melekat begitu seseorang lahir. Karenanya negara berkewajiban menghormati, memenuhi, dan melindungi hak ini.  Ini berarti dengan mencatatkan seorang anak, negara telah resmi mengakuinya sebagai subyek hukum dan berkewajiban melindungi hak-hak sipilnya.[2] Pengakuan sebagai subyek hokum merupakan hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam kondisi apapun, meski negara dalam kondisi darurat sekalipun. Karena hak ini termasuk dalam kategori non derogable rights. [3]

Akta Kelahiran adalah sebuah akta yang dikeluarkan negara melalui pejabat yang berwenang yang berisi identitas anak yang dilahirkan, yaitu nama, tanggal lahir, nama orang tua serta tanda tangan pejabat yang berwenang. Akta kelahiram merupakan salah satu bukti kewarganegaraan seseorang.

Terdapat 2 (dua) fungsi utama dari Akta Kelahiran [4]:

  • Menunjukkan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya secara hukum
  • Merupakan bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang dimiliki anak

Dengan adanya akta kelahiran ini, maka anak secara yuridis  berhak untuk  mendapatkan perlindungan hak-hak kewarganegaraannya, misalnya hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pemukiman, dan hak atas sistem perlindungan sosial.

Dalam kerangka hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, hak atas kewarganegaraan merupakan hak asasi setiap manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam Pasal 15 huruf a menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan.  Kemudian Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, hak atas kewarganegaraan diatur dalam Pasal 24 ayat 3. Karena setiap anak yang lahir harus didaftarkan sebagai bukti awal kewarganegaraannya, maka Konvensi Hak Anak yang secara spesifik mengatur kebutuhan anak menjadi acuan yuridis untuk menganalisis persoalan ini. Pasal 7 KHA menyatakan anak akan didaftarkan segera setelah kelahiran dan berhak memperoleh kewarganegaraan. Selanjutnya Pasal 8 menegaskan bahwa negara menghormati hak anak atas kewarganegaraannya.

Hak atas kewarganegaraan secara konseptual termasuk ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik, namun berdampak pada penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Mengingat fungsi akta kelahiran sebagai bukti kepastian hukum atas status kewarganegaraan seseorang.

Dalam kehidupan sehari-hari, akta kelahiran ini berguna dalam mengurus hal-hal yang sifatnya administrasi yang meminta informasi mengenai orang tua, misalnya  : syarat untuk sekolah, membuat identitas lain –  seperti Kartu Keluarga atau Kartu Tanda Penduduk (KTP), mencari pekerjaan, menikah, dan lain-lain.

Melihat kegunaan akta kelahiran sebagai akses untuk mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya maka jika terdapat sebagian penduduk yang tidak memiliki dokumen ini, berarti mereka terhambat untuk mengeyam hak asasinya.

Realitanya keinginan sebagian penduduk untuk memiliki akta kelahiran seringkali mendapatkan hambatan karena biaya pembuatannya yang mahal, persyaratannya banyak,  prosesnya lama dan panjang, atau hambatan yang sifatnya menyangkut keturunan seseorang (genealogis).

Dalam konteks wilayah administrasi dan hukum Pemerintah Daerah DKI Jakarta, bagi kelompok miskin kota – yang sebagian besar biasanya kaum urban (pendatang), keinginan untuk memiliki akta kelahiran bagi anak-anaknya  terhambat karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta.

Memang pernah Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengadakan program kegiatan pemberian Akta Kelahiran Cuma-Cuma (gratis) bagi penduduk DKI Jakarta. Program ini  ditujukan kepada masyarakat pra Keluarga Sejahtera atau masyarakat tidak mampu, serta bagi warga masyarakat yang kehilangan akta kelahiran karena musibah.[5] Persoalan yang muncul mana kala pemerintah mengeluarkan kebijakan ini adalah sosialisasi program tidak sampai kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Akses informasi masyarakat untuk mengikuti program ini seringkali terhambat karena prosedur birokrasi dan terjadinya praktik-praktik KKN. Selain itu, kebijakan yang diskriminatif masih saja diberlakukan antara pendatang dan penduduk DKI Jakarta. Titik persoalannya adalah pembedaan perlakuan antara penduduk ber-KTP DKI Jakarta dan kelompok miskin kota yang tidak memiliki KTP DKI oleh Pemda DKI Jakarta untuk mendapatkan akta kelahiran. Tentu saja kondisi ini akan menjadi hambatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan haknya. Padahal kepemilikan akta kelahiran sebagai bukti awal kewarganegaraan merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pemberian akta kelahiran gratis khususnya bagi kaum miskin kota yang tidak ber- KTP Pemda DKI Jakrta, memerlukan alokasi anggaran khusus.

Namun alokasi anggaran khusus untuk pemberian akta gratis tidak terakomodasi dalam APBD DKI Tahun 2005. Mengacu pada Nota Keungan APBD DKI Jakarta Tahun 2005, program akta gratis tidak dianggarkan. Malahan akta kelahiran dijadikan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi biaya cetak Akta Catatan Sipil.  Retribusi akta untuk tahun anggaran 2005 diasumsikan sebesar 1, 7 milyar atau meningkat 3,7 % dari tahun anggaran tahun 2004 di mana retribusi yang berhasil dikumpulkan sebesar 1,6 milyar.[6]

Pemberian akta gratis khususnya bagi masyarakat miskin seharusnya tidak berhenti hanya pada proses pencatatan namun kutipan akta yang nantinya diterima oleh pemohon juga seharusnya cuma-cuma. Namun melihat kecenderungan yang terjadi saat ini dengan dalih otonomi daerah, akta kelahiran dijadikan salah satu sumber PAD melalui penarikan retribusi daerah bagi pemohon akta yang ingin mendapatkan kutipan akta kelahiran.  Melalui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005, pemohon akta kelahiran dibebani retribusi biaya cetak akta kelahiran. Ketentuan ini tentu saja memberatkan bagi keluarga-keluarga miskin baik penduduk DKI maupun pendatang.

Dalam perspektif HAM upaya memberikan perlakuan khusus melalui affirmative action bagi kelompok miskin yang tergolong sebagai kelompok rentan (vulnerable) melalui alokasi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka telah diamanatkan dalam konstitusi Pasal 28 H. Sebangun dengan ketentuan pasal ini, Pasal 34 mendeklarasikan janji negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Tentu saja termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan identitas atau pengakuan sebagai warga negara.

Dalam konteks pemenuhan hak asasi anak khususnya hak atas identitas berupa akta kelahiran, Pasal 4 KHA menegaskan agar negara mengambil semua langkah-langkah legislatif, admisnistrasi, dan tindakan lainnya yang tepat untuk melaksanakan hak-hak yang diakui dalam konvensi.  Terkait dengan alokasi anggaran yang secara khusus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dari keluarga miskin, pasal yang sama menyatakan bahwa mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maka negara harus melakukan langkah-langkah tersebut sampai pada jangkauan semaksimum dari sumber-sumber yang tersedia.

Dalam konteks pemenuhan hak atas akta kelahiran, maka apabila negara tidak mengalokasikan anggarannya secara khusus bagi pemenuhan hak asasi anak-anak dari keluarga miskin, dapat dikatakan negara telah melanggar HAM melalui tindakannya (act commission) karena negara secara sistematis melalui kebijkan politik anggarannya mengabaikan pemenuhan hak asasi keluarga miskin. Di samping melakukan pelanggaran melalui tindakannya, negara juga melanggar hak keluarga miskin melalui pembiaran (act ommision) karena kegagalannya memanfaatkan anggaran publiknya untuk kepentingan pemenuhan hak-hak asasi anak-anak keluarga miskin.  Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 27 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran.  Lebih jauh Pasal 28 menyatakan bahwa pembuatan akta kelahiran menjadi tanggungjawab pemerintah dan pembuatannya tidak dikenai biaya.

Ketentuan pasal ini jika dikerangkakan dalam perspektif HAM khususnya pemenuhan dan perlindungan hak bagi kelompok rentan dan dikerangkakan dalam affirmative action sebagaimana telah menjadi hak konstitusional warga negara maka kebijakan politik anggaran Pemda DKI Jakarta yang tidak mengalokasikan anggarannya untuk membuat akta kelahiran gratis dapat dikatakan  Pemda DKI melalui aparatusnya telah melakukan pelanggaran HAM.


[1] Lihat Lembar Konsorsium Akta Kelahiran

[2] Darpan Ariawinagun, dkk, Ada Apa Dengan Pelarangan Nama : Potret Buram Pencatatan Kelahiran, Jakarta LSPP, 2003, hal. 9

[3] Lihat Pasal 4 Kovenan Internasional Sipil dan Politik. Lihat pula Pasal 28 I UUD 1945 Amandemen II

[4] Herni Sri Nurbayanti, dkk, Publikasi Hak Masyarakat dalamBidang Identitas, Jakarta, PSHK,  2003, hal. 20

[5] Untuk tahun 2002, pelaksanaan dilakukan disetiap Kantor Catatan Sipil (KCS) di DKI Jakarta, yaitu : KCS Jakarta Pusat (1000 akta), KCS Jakarta Utara (3000 akta), KCS Jakarta Barat (4000 akta), KCS Jakarta Selatan (2000 akta), dan KCS Jakarta Timur (7500 akta). Ibid, hal. 25.

[6] Lihat Nota Keuangan APBD DKI  Jakarta Tahun 2005, Bab II – 19

PERLINDUNGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Perlindungan Anak Dalam Perspektif Islam

Oleh: Dr. Nurjannah Ismail, M.Ag

Kita sepakat bahwa anak  merupakan amanah dan karunia Allah SWT sebagai generasi penerus dalam keluarga bahkan bangsa dan negara. Oleh sebab itu maka anak harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dari seluruh aspek kehidupan. Dalam kehidupan manusia, anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial. Akibat dari belum matangnya individu anak maka sangat dibutuhkan perlindungan penuh dari orang dewasa. Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dinyatakan bahwa yang disebut anak adalah manusia atau seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.

Dalam upaya melindungi anak, dunia internasional bersepakat untuk membuat sebuah aturan yang mengatur tentang perlindungan anak. Maka pada tanggal 28 November 1989 Majelis Umum PBB telah mensahkan Konvensi Hak Anak (KHA). Setahun setelah itu Konvensi Hak Ank ini disahkan maka pada tanggal 25 Agustus 1990 Pemerintah Indonesia meratifiikasi Konvensi tersebut melalui keputusan presiden No. 36 tahun 1990 dan mulai berlaku sejak 5 Okober 1990. Dengan ikutnya Indonesia dalam mensahkan konvensi tersebut maka Indonesia terikat dengan Konvensi Hak Anak dengan segala konsukuensinya. Artinya setiap yang menyangkut tentang kehidupan anak harus mengacu kepada Konvensi Hak Anak dan tak ada pilihan lain kecuali melaksanakan dan menghormati Konvensi Hak Anak. Dan apabila Indenesia tidak melaksanakan dan menghormatinya maka akan memiliki pengaruh negatif dalam hubungan internasional.

Dalam mewujudkan pelaksanaan dari Konvensi Hak Anak tersebut maka Pemerintah Indonesia telah membuat aturan dalam upaya melindungi anak. Aturan hukum tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002.  Jadi jelaslah bahwa perlindungan anak mutlak harus dilakukan karena mulai dari tingkat internasional dan nasional sudah memiliki instrumen hukum.

Anak lahir ke dunia ini membawa berbagai potensi, baik itu potensi akhlak dan juga potensi agama. Anak suci sejak lahirnya. Kesucian anak serta segala potensi positif yang melekat padanya akan berkembang sesuai dengan arahan yang diberikan oleh orang tua sebagai lingkungan pertama yang berinteraksi dengannya. Akan dibawa ke mana potensi tersebut semua tergantung pada pemahaman orang tua tentang pendidikan anak.

Orang tua memberikan peranan yang signifikan dalam perkembangan anak selanjutnya. Pengaruh yang sangat besar tersebut adalah pada aspek psikis atau emosi. Aspek emosi anak dapat berkembang normal jika anak mendapat arahan, bimbingan dan didikan orang tuanya sehingga jiwa dan kepribadian anak nantinya mampu berinteraksi dengan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Konsep pendidikan Islam itu tersirat dalam beberapa penafsiran   surat al­-Isra’  ayat  23-24:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Berdasarkan ayat di atas, tampaknya yang menjadi titik sentral dalam masalah bir al-walidain adalah anak, maka posisi orang tua sebagai pendidik tidak menjadi bahasan utama. Hal ini bisa disebabkan adanya suatu anggapan bahwa orang tua tidak akan melalaikan kewajibannya dalam mendidik anak.

Menurut Said Qutub orang tua itu tidak perlu lagi dinasehati untuk berbuat baik kepada anak, sebab orang tua tidak akan pernah lupa akan kewajibannya dalam berbuat baik kepada anaknya. Sedangkan anak sering lupa akan tanggung jawabnya terhadap orang tua. Ia lupa pernah membutuhkan asuhan dan kasih sayang orang tua dan juga lupa akan pengorbanannya. Namun demikian anak perlu melihat ke belakang untuk menumbuh-kembangkan generasi selanjutnya.  Jadi mempelajari cara orang tua dalam mendidik anak menjadi hal yang perlu dipertimbangkan.

Penelusuran kembali tentang bagaimana orang tua dalam mendidik anak dapat dilakukan terhadap teks-teks tafsir ayat 23-24 surat al-Isra’ tersebut sehingga nantinya konsep tersebut dapat diterapkan dalam dunia pendidikan untuk membentuk generasi yang madani.

Hal pertama yang teranalisa dalam penjelasan kedua ayat tersebut adalah kewajiban orang tua untuk memperlakukan anak dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran ayat wa bilwalidaini ihsana. Dalam penafsiran penggalan ayat tersebut, anak dituntut berbuat baik kepada kedua orang tua disebabkan orang tua telah berbuat ihsan kepada anak; mengandung selama sembilan bulan, memberikan kasih sayang dan perhatian sejak dari proses kelahiran hingga dewasa. Dengan demikian, perintah anak untuk berbuat ihsan kepada orang tua menjadi wajib dengan syarat orang tua telah terlebih dahulu berbuat ihsan kepadanya.

Ihsan orang tua terhadap anak sangat urgen sebab seorang anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah tidak berdaya,  tidak tahu apa-apa, dan perlu pertolongan orang lain. Untuk mengatasi ketidakberdayaannya, anak sangat bergantung sepenuhnya kepada orang tua dan menunggu bagaimana arahan dan didikan yang akan diberikan kepadanya.

Hal kedua yang dapat dijadikan konsep pendidikan emosional anak adalah

إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Kondisi lemah anak yang masih kecil dalam asuhan orang tua sama halnya dengan kondisi orang tua yang telah tua renta dalam asuhan anak. Ketika Allah mewajibkan anak untuk berbuat baik kepada orang tua sebagai balasan orang tua yang telah memperlakukan anak dengan baik dan susah payah ketika anak kecil, maka secara otomatis orang tua juga dituntut hal yang sama yakni memperlakukan anak dengan baik; tidak bersikap yang menunjukkan kebosanan dan kejemuan secara lisan maupun bahasa tubuh.

Berkaitan dengan hal ini, orang tua seharusnya tidak mengabaikan aspek psikologis dalam mengasuh anak. Anak memerlukan perhatian dan kasih sayang. Meskipun belum bisa berpikir logis, anak tetap memerlukan kasih sayang dan cinta orang tua. Pemberian materi yang banyak tanpa dibarengi dengan perhatian dan rasa cinta dari orang tua akan membuat anak merasa tidak ada ikatan emosi antara dirinya dan orang tua. Akibatnya anak tidak peka terhadap apa yang dirasakan oleh orang tuanya, apalagi ketika orang tua telah renta.

Memperlakukan anak dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang bukan hanya membantu anak berkembang dengan positif tetapi juga memudahkan orang tua untuk mengontrolnya. Di saat orang tua bersikap lemah lembut dan sayang kepadanya, maka anak tersebut akan mudah untuk diajak kerja sama dan akan bersikap menurut.

Memperhatikan aspek psikologis anak dapat diwujudkan dengan sikap dan perkataan. Allah mewajibkan anak untuk berkata lemah lembut dan tidak menghardik orang tua ketika mereka telah pikun karena orang tua telah berlaku sabar, bersikap lembut dan tidak menghardik anak. Dengan demikian orang tua juga dituntut untuk lemah lembut dalam perkataan dan tidak menghardik anak. Anak kecil yang belum bisa berpikir rasional dan logis sama halnya seperti orang tua yang telah pikun. Anak kecil tentunya akan merasa senang dengan dunianya. Misalnya anak kecil mempermainkan kotorannya sendiri yang menurut daya nalar anak apa yang dilakukannya tersebut baik dan menyenangkan. Meskipun hal demikian belum tentu logis dan baik menurut pemikiran orang dewasa. Dalam hal ini orang tua perlu bersikap sabar.

Penghinaan dan celaan adalah tindakan yang dilarang dalam pendidikan, sekalipun terhadap bocah kecil yang belum berumur satu bulan. Anak bayi sangatlah peka perasaannya. Ia dapat merasakan orang tua tidak senang dan tidak menyukainya melalui sikap, bahkan yang masih tersirat dalam hati orang tua, lebih-lebih lagi melalui perkataan yang jelas.

Sikap orang tua dalam menghadapi dan mengasuh anak pada masa kecil memerlukan kesabaran dan tutur kata yang baik atau qaulan karima. Tutur kata yang baik bisa diwujudkan seiring dengan adanya kesabaran. Apabila tidak ada kesabaran dalam diri orang tua tentunya kata-kata kasar dan hardikan akan keluar tanpa terkendali. Dan perkataan kasar serta hardikan tidak disenangi anak, walaupun menurut orang tua semua itu demi kebaikan anak. Sebab yang dirasakan oleh anak bahwa kata-kata yang tidak lemah lembut merupakan bukti ketidaksenangan orangtua terhadapnya.[1]

Pengendalian tutur kata agar selalu terucap yang baik merupakan bentuk kesabaran dan penghargaan orang tua terhadap anak. Ada sebagian keluarga di mana orang tua selalu menggunakan perkataan kotor ketika berbicara dengan anak-anak mereka. Padahal pada setiap tempat, terjaganya lingkungan masyarakat akan tergantung pada istilah-istilah dan ungkapan bahasa yang digunakan oleh ayah dan ibu kepada putra putrinya. Membiasakan anak bersikap sopan santun dalam berbicara adalah tugas orang tua, karena anak mengambil dan belajar dari kedua orang tuanya. Jika kedua orang tuanya tidak memiliki cara yang benar dalam berbicara, maka mereka berdua tidak akan mampu mengajari anak-anak mereka sama sekali.[2]

Qaulan karima merupakan perkataan yang baik, lembut dan memiliki unsur menghargai bukan menghakimi. Dengan demikian anak akan bisa menilai kadar keperdulian orang tua terhadap dirinya melalui perkataan yang didengarnya. Di samping memberikan dampak secara psikologis, gawl karim juga menjadi acuan bagi anak untuk mengikuti pola yang serupa. Sebagai konsekuensinya anak berbicara dengan perkataan yang baik kepada orang tua sehingga akan terjalin ikatan emosional antara anak dan orang tua.

Perkataan kasar dan caci maki, sebagai kebalikan dari pendapat di atas, akan membuat anak terbiasa dengan kata-kata tersebut. Terbiasa di sini dimaksudkan bahwa ketika orang tua melontarkan cacian kepada anak sebagai tanda marah, anak tidak akan menghiraukan lagi.[3] Dan membentak anak sekalipun ia masih sangat kecil, berarti penghinaan dan celaan terhadap kepribadiannya sesuai kepekaan jiwanya. Dampak negatif ini tumbuh dan berkembang hingga menghancurkan kepribadian dan mengubah manusia menjadi ahli maksiat dan penjahat yang tidak lagi peduli dengan perbuatan dosa dan haram.[4]

Melalui kata yang baik, bijak dan juga pujian, anak akan merasa dihargai dan keberadaannya di antara anggota keluarga menjadi berarti. Seberapapun tinggi pendidikan dan juga pengetahuan yang diperoleh orang tua tentunya orang tua tidak bisa memandang segala sesuatunya dari sudut pandangnya sendiri. Sebab anak yang masih kecil belum mampu menjangkau pemikiran orang tua. Dengan demikian orang tua dalam usaha mendidik dan mengarahkan anak berusaha untuk memposisikan diri pada sudut pandang anak yang masih kecil tersebut kalau tidak akan selalu terjadi ketegangan. Dan sebagai konsekuensinya perkataan tidak baik akan ditangkap oleh anak.[5]

Berkaitan dengan cara pandang orang tua yang berbeda dengan anak kecil, di sini perlu dirujuk kembali pendapat al-Tabariy yang menyatakan bahwa anak harus membiarkan apa yang dicintai dan diingini oleh kedua orang tua ketika keduanya dalam asuhannya selama tidak bermaksiat kepada Allah. Anjuran untuk membiarkan apa yang diinginkan oleh orang tua dimaksudkan untuk menjaga perasaan keduanya; agar mereka tidak sakit hati dan tersinggung.

Hal demikian juga dapat diterapkan dalam mendidik anak. Orang tua tidak perlu terlalu protektif dengan lebih banyak mengeluarkan intruksi larangan dari pada membolehkan. Apabila orang tua banyak melarang segala sesuatu yang akan dilakukan oleh anak, anak akan menilai orang tua sebagai sosok yang otoriter, kejam dan tidak memahami perasaan serta kemauannya. Dan  juga anak akan cenderung tidak berani bertindak.72 Jika hal demikian terjadi maka kreativitas anak akan hilang dan anak tidak merasa adanya keterikatan emosi dengan orang tua. Oleh karena itu orang tua, dalam konteks ini, tidak terlalu banyak melarang apa yang akan dilakukan oleh anak selama tidak membahayakan dirinya dan juga selama tidak keluar dari norma-norma islami. Selanjutnya, setelah berbuat ihsan dan berkata dengan qawl karim kepada anak, orang tua juga dianjurkan untuk mendo’akan anak seperti Allah menganjurkan anak untuk mendo’ akan orang tua dalam akhir ayat 24 surat al-Isra’ tersebut. Sebab mendo’akan anak merupakan bagian bentuk tanggung jawab orang tua kepada generasi penerusnya, yang tidak ingin melihat mereka sebagai generasi yang amburadul, loyo dan tidak mengerti akan tanggung jawabnya.[6] Sebagaimana Rasulullah Saw pernah mendo’akan cucunya Hasan dan Husain. Hadith tersebut adalah sebagai berikut: Artinya: Ya Allah, kasihilah mereka berdua, sebab aku mengasihinya.[7]

Penghujung ayat 24 surat al-Isra’: وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

pada intinya merupakan perintah kepada anak untuk mendo’ akan kedua orang tuanya. Namun penggalan ayat tersebut merupakan keyword dari keseluruhan konsep interaksi edukatif pada aspek emosional antara orang tua dan anak. Orang tua berhak mendapatkan Ihsan, qawlan karima dan juga rahmah seperti yang terdapat pada penggalan ayat tersebut, apabila ia telah berbuat hal yang sama terhadap anak terlebih dahulu. Hal ini dapat dipahami dari kata kama rabbayani shaghira. Dan dalam kata tersebut terkandung unsur cause and effect atau causalitas.

Kata rabbayani dalam penggalan ayat tersebut merupakan akumulasi dari sikap Ihsan, qawlan karlma dan juga rahmah orang tua terhadap anak. singkatnya sikap  orang tua terhadap anak berdasarkan konsep pendidikan emosional yang terdapat dalam surat al-Isra’ 23-24 adalah dengan cara memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak, bersikap lemah lembut, berkata dengan perkataan yang baik, dan tidak memaksakan kehendak orang tua sebab dunia anak dan orang dewasa itu berbeda atau dengan kata lain orang tua memberikan kelonggaran bagi anak untuk berkreativitas selama tidak menyimpang dari ajaran agama. Serta mendo’akan anak agar Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang-Nya terhadap anak. Sikap orang tua terhadap anak tersebut memerlukan kesabaran dan pengorbanan yang begitu besar.

Orang tua yang telah bersabar dan berkorban dalam mendidik dan mengarahkan anak agar menjadi anak yang shalih berhak mendapatkan do’a seperti yang disinyalir oleh Allah dalam firman-Nya:

Artinya: Dan ucapkanlah: `wahai Tuhanku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.(al-Isra’:24).

Dengan demikian secara keseluruhan konsep pendidikan yang terdapat dalam surah al-Isra’ 23- 24 merupakan bentuk konsep yang memiliki kausalitas atau sebab­ akibat (hubungan timbal balik). Anak menyantuni dan juga mendo’akan orang tua sebagai konsekuensi dari sikap orang tua terhadap anak ketika anak masih kecil. Oleh karena itu orang tua mendapatkan hak dari anak karena orang tua telah melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu terhadap anak. Dan begitu juga sebaliknya; anak memberikan hak orang tua karena anak telah mendapatkan haknya, yakni pendidikan dengan penuh kasih sayang, kelembutan, keikhlasan dan keridhaan dari orang tua.


[1] Irawati Istadi, Mendidik Dengan Cinta, (Jakarta: Pustaka Inti, 2003), h. 11.

[2] Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak … h. 207&209

[3] Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, Jil. 5, (Semarang: Asy-Syifa’, 1992), h. 178.

[4] Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, (Jakarta: Lentera Basritama

[5] Mohamed A. Khalfan, Anakku Bahagia Anakku Sukses, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), h.

[6] Fuad Kauma, Buah Hati Rasulullah: Mengasuh Anak Cara Nabi, (Bandung: Hikmah, 2003), h. 70.

[7] Shahih Bukhari, Terj., Jil. 8, (Semarang: Asy-Syifa’, 1993), h. 25.