CERPEN

KETIBAN SIAL

Suatu hari tepatnya har Minggu setelah shalat Shubuh, Adi berjalan-jalan ke Cikakak. Adi tidak sendirian, tetapi dia bersama teman-temannya, yaitu Jawik, Anto, Dodi, Agus dan Apri. Adi dan teman-temannya berjalan-jalan lewat `Sier`. Diperjalanan, Adi dan teman-temannya sambil menyalakan petasan. Petasan itu bervariasi, ada yang kecil dan ada yang besar. Jawik dan Agus membawa petasan yang besar sekitar 3 ons, sedangkan Anto, Dodi dan Adi membawa petasan kecil. Petasan itu akan digunakan di Cikakak, terutama yang besar. Petasan yang kecil dinyalakan diperjalanan.

Diperjalanan, Anto dan Dodi menyalakan petasan kecil itu. Saat dinyalakan lalu dilempar ke kali yang di situ ada orang yang sedang buang air besar. Lalu petasan itu meledak dan orang yang sedang buang air besar itu masuk kekali dan basah kuyup. Anto dan Dodi berlari, tetapi Jawik, Agus dan Apri tidak berlari. Sehingga  mereka yang dimarahi. “Siapa yang membunyikan petasan?” Tanya orang tersebut. “Dia pak”jawab Andi. Orang tersebut menjawab “Disini Cuma ada kalian!”. Apri menjawab “Ya sudah pak, saya minta maaf”. Orang itu menjawab “Ya sudah, tetapi jangan diulangi lagi ya!”. Kami menjawab “ Ya pak”. Kami melanjutkan perjalanan lagi. Setelah sampai di Cikakak, kami berperang petasan dengan sangat sengitnya. Lalu Jawik dan Agus menyalakan petasan yang besar itu. Kami dan teman-teman yang berada di Cikakak sudah menutup telinga, tetapi petasan itu ternyata tidak meledak-ledak. Jawik kesal karena petasan yang dibuatnya tidak meledak.

Jawik langsung meniup petasan itu. Duarrrr!!! Duarrr!!! Petasan itu meledak, maka Jawik putih seperti setan. Adi dan teman-teman tertawa terbahak-bahak. Jawik berkata “Asem, ketiban sial aku!” Lalu muka Jawik dicuci di kali.

Pesan dari pengarang: Jangan main petasan kalau bermain petasan jangan terlalu dekat-dekat dengan petasan karena dapat membahayakan kita sendiri.

*******************************************

BERNAFAS TANPAMU, BUDHE RINA


“Pokoknya Lupi sama Nita harus cepetan ke sini, soalnya Mba Rina pengen banget ketemu “ kata Tante Rika . Beliau telepon dengan nada cemas.

“ Ya, udah kalo gitu nanti saya bilangin ke anak–anak.” kata Ayah. Aku, Mba Nita, Ibu hanya diam saja.

“ Memang Mba Rina kenapa lagi ta , Pa??? “ kata Ibuku. Raut wajahnya tampak sangat cemas..

“Keadaannya sekarang sangat kritis. Lupi, Nita, Ayah harap kalian mau pergi ke Jakarta untuk menemui Budhe Rina. Dia  ingin sekali bertemu dengan kalian.” kata Ayah.

“ Tapi Yah, kita kan harus sekolah. Aku nggak mau ketinggalan pelajaran. “ kata Ka Nita. Memang dia sangat mementingkan sekolah.

Aku hanya bisa diam saja. Kulihat wajah Ibu, beliau nampaknya ingin sekali menangis.

******

Setelah mendengar berita itu, aku langsung teringat Budhe Rina. Budhe Rina adalah kakak Ibuku .

Beliau sudah menikah dan mempunyai satu anak, namanya Hana. Ia baru berumur 7 tahun. Beliau tinggal di Jakarta. Beliau mengidap penyakit kanker yang sangat parah. Sudah sebulan beliau terbaring lemah  karena penyakitnya itu. Segala cara sudah beliau tempuh untuk menyembuhkan penyakitnya itu. Sekarang beliau sedang melakukan pengobatan di salah satu Rumah Sakit di Jakarta.

Pada saat liburan sekolah dan lebaran keluargaku pasti kumpul di rumah Kakekku di Semarang. Pada saat itulah aku dan kakakku sering bermain dengan Budhe Rina. Dari semua anggota keluarga Ibuku, yang paling dekat dengan aku adalah Budhe Rina. Semua anggota keluarga sangat menyayangi Budhe Rina karena beliau adalah seorang yang rajin beribadah, pintar masak, baik kepada semua orang dan sangat menyayangi keluarganya. Oleh karena itu, aku dan keluargaku  sangat suka padanya.

Beliau pernah berpesan kepadaku untuk selalu hidup rukun dengan kakakku . Pada saat itu, aku sedang bertengkar dengan kakakku.

Tiba-tiba, aku jadi membayangkan wajah beliau yang cantik, lembut, n menyinarkan kepribadiannya yang feminim. Aku ingin sekali memeluk tubuh  beliau yang hangat. Aku kangen sekali dengan beliau.

******

Kami sudah memutuskan bahwa yang akan berangkat ke Jakarta adalah Ayah dan Ibu. Tanpa berbasa–basi Ibupun langsung menyiapkan segala keperluan sedangan Ayah pergi untu membeli tiket.

Keesokan harinya, Ayah dan Ibu berangkat ke Jakarta untuk melihat keadaan Budhe Rina. Aku dan Mba Nita hanya berdoa saja agar tidak ada kejadian buruk nantinya.

Di rumah aku dan kakakku  melaksanakan sholat berjamaah. Setelah selesai, kamipun berdoa untuk keselamatan Ayah dan Ibu    serta mendoakan Budhe Rina agar beliau cepat sembuh sehingga dapat berkumpul kembali dengan kami.

Namun  besok malamnya, Ayah dan Ibuku pulang. Ternyata pada saat Ayah dan Ibu sampai di Jakarta, Budhe Rina pergi ke Jogjakarta untuk melakukan pengobatan tradisional disana, tempat keluarga Pakdhe tinggal. Ayah dan Ibuku sangat menyesal karena tidak sempat bertemu dengan Budhe Rina.

******

Seminggu kemudian, Tante Rika telepon Ayah lagi. Betapa kagetnya Ayah  ternyata Budhe Rina sudah tidak ada lagi. Aku dan Mba Nita hanya bisa menangis dan merasa sangat menyesal karena tidak dapat memenuhi permintaan beliau yaitu bertemu dengannya untuk yang terakhir kalinya.

Ayahpun meminta kami untuk merahasiakan berita duka ini kepada Ibu.  Ayah takut Ibu menjadi sedih akan kejadian ini.

Tiba-tiba Ibu datang. Ayahpun langsung mengajak Ibu bicara.“ Nanti kita harus pergi ke Jogja, Mba Rina sedang dalam keadaan yang kritis.” kata Ayah.

“ Lupi kamu harus ikut dengan Ayah dan Ibu . Nita sementara kamu disini saja , Ayah takut kamu ketinggalan pelajaran. Nanti Ayah akan minta Yanti untuk menemani kamu selama Ayah pergi . “ Ga papa kan ???” kata Ayah panjang lebar .

Mba Nita hanya bisa diam dan mengangguk saja . Ia tampaknya tidak bisa menyembunyikan kesedihannya .

Kamipun langsung beres – beres . Setelah semua sudah siap , kami langsung bergegas berangkat ke Jogja . “ Hati – hati di jalan , ya…..!!! “ terdengar suara Mba Nita yang parau .

******

Sesampainya di terminal Jogja , langit sudah gelap . Dalam perjalanan tadi , Ibu selalu diam  dan beliau nampaknya sudah mempunyai firasat yang buruk .

Setelah sampai di rumah Pakdhe , di sana sudah tertata rapi kursi dan peralatan lainnya yang nampaknya baru di gunakan untuk orang yang berkipayah . Dan di depan rumah tampak sehelai kain putih bersih yang menandakan bahwa keluarga tersebut sedang berkabung .

Ibuku langsung bertanya kepada Ayah apa yang sedang terjadi . Ayah langsung mengajak Ibu masuk ke rumah dan menjelaskan yang sbenarnya terjadi . Mendengar berita itu , Ibu langsung pingsan dan tidak ingat apa – apa lagi .

Setelah sadar , Ibu hanya menangis dan menangis . Aku yang melihat itu hanya bisa memeluk Ibu dan ikut menangis .

Keesokan harinya , Ayah , Ibu , dan aku pergi ke makam  di mana Budhe Rina di semayamkan . Kebetulan makam tersebut , dekat dengan rumah Pakdhe . Disana tampak bunga tabur di atas gundukan tanah merah itu masih segar . Di dalamnya terbaring seorang wanita yang sangat cantik . Beliau telah meninggalkan semua orang yang menyayanginya . Kamipun langsung membacakan do’a untuk beliau .

Setelah selesai , kamipun langsung pulang . Tiba – tiba aku merasa melihat Budhe Rina yang sedang tersenyum lembut kepadaku . Aku terkejut saat Hana memanggilku dari jauh , ia melambaikan tangan kecilnya ke arahku . Akupun langsung menghampirinya sambil melihat Budhe Rina , namun bayangan itu hilang entah kemana .

“ Mba , jalan – jalan yuk !!! “ kata Hana kepadaku . Aku hanya mengangguk dan langsung meminta ijin kepada Ayah .

Saat di perjalanan Hana berkata kepadaku “ Aku nggak mau punya ibu tiri …” . Air matanya jatuh seketika .

******

Budhe Rina namamu akan selalu terukir di dalam benakku . Kan ku ingat semua kebaikanmu dan ketulusanmu . Semoga kami semua yang menyayangimu bisa bernafas tanpamu ….dan Budhe dapat tenang di sisiNya . AMIEN.

SELAMAT TINGGAL , BUDHE RINA…………

Inilah saat terakhir ku melihat kamu

Jatuh air mataku menangis pilu hanya mampu ucapkan

SELAMAT JALAN KASIH ….

Beri sedikit waktu

Agar ku terbiasa BERNAFAS TANPAMU….

***********************************

UANG MARJO

Cerpen  A Wijayanti

Matahari bersinar garang. Menguras keringat dari kulitnya yang tampak legam. Marjo berjalan dengan pikiran mengawang. Kejadian tadi siang masih lekat dalam ingatannya. Sesekali kaos oblong kumalnya disapukan ke muka yang penuh keringat itu. Ada sedih dan kecewa yang berusaha ia tahan. Ingin rasanya ia tumpahkan segala amarahnya. Tapi pada siapa?

Apalah artinya orang kecil seperti Marjo, yang hanya bisa pasrah dan tabah ketika dijadikan tumbal oleh penguasa. Tapi haruskah selamanya begitu? Batinnya berontak. Bening yang perlahan merembes dari sudut matanya disusutnya dengan jemari. Sebagai laki-laki, baru kali ini ia merasa begitu rapuh.

Terbayang wajah anaknya yang sebentar lagi menginjak SMU, biaya kontrakan rumah, untuk makan sehari-hari. Uang dari mana?. Pikirannya semakin kalut, harapannya seakan mengabur.

“Jadi Anto nggak bisa nglanjutin sekolah, Pak?” tanya anaknya setelah Marjo menceritakan peristiwa yang dialaminya tadi siang. Sore itu ia duduk-duduk bersama istri dan anaknya di sebuah ruangan dalam rumah kontrakannya yang tidak seberapa luas. Lelaki paruh baya itu hanya diam. Tak dijawab sepatah kata pun pertanyaan anaknya. Pandangannya dialihkan ke luar jendela. Pertanyaan itu makin menohok hatinya.

Ada perasaan bersalah yang kian menjalari relung-relung benaknya. Ia makin tak yakin kalau impian yang selama ini dibangunnya akan terwujud. Impian untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin haruskah sirna? Padahal anaknya baru tamat SMP, sedangkan biaya untuk melanjutkan ke SMU tidaklah sedikit.

Ia tahu hidup di kota besar memang kejam, dimana biaya hidup kian hari kian mahal. Sebagai kaum urban yang hanya mengandalkan ijazah SD, rupanya tak ada pekerjaan yang bisa dibilang layak untuk orang sepertinya. Apakah anaknya akan bernasib sama dengannya? Sungguh, Marjo tak ingin itu terjadi.

Marjo ingat waktu pertama kali memboyong istrinya ke kota ini. Betapa susahnya ia mencari pekerjaan, luntang-lantung kesana kemari. Beruntung ia masih bisa numpang di rumah kontrakan saudaranya. Itu pun hanya sementara. Selebihnya ia mesti berusaha sendiri untuk bertahan hidup karena saudara yang ditumpanginya pun nasibnya tak jauh beda dengannya.

Keadaan di kota ini tak seperti yang ia bayangkan dulu. Ia membayangkan kalau di kota ini bakal mendapat pekerjaan yang layak. Tidak seperti di kampungnya, yang hanya menjadi seorang buruh tani, yang hanya bekerja kalau musim panen dan musim tanam tiba. Orang tuanya yang miskin tak punya sepetak sawah pun untuk diwariskan padanya. Keadaan itulah yang memaksa Marjo merantau ke kota ini. Ia bercita-cita mengubah hidup keluarganya.

Tapi tampaknya kota ini tak lagi memberikan ruang untuknya. Karena satu-satunya pekerjaan yang selama ini ditekuninya sudah tak ada. Ia tak bisa membayangkan kalau suatu saat nanti ia dan keluarganya bakal jadi gelandangan, mengais-ngais sampah dan meminta sedekah pada orang-orang di jalanan. Hatinya miris memikirkan semua itu.

Marjo mendesah pelan. Ditatapnya anak semata wayangnya itu. Ia makin nelangsa melihat bias-bias kecewa menerpa wajah anaknya. Secangkir kopi yang dihidangkan istrinya di atas meja diseruputnya perlahan. Sebentar kemudian ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menata kembali batinnya yang poranda. Matahari senja menerobos dari luar jendela, sinarnya memantulkan cahaya keperakan ketika menerpa rambutnya yang hampir separuhnya ditumbuhi uban.

Marjo lebih banyak melamun sekarang. Kejadian beberapa hari yang lalu belum bisa membuat dirinya menerima apa yang terjadi.

Waktu itu, di depan Pasar Baru, seperti biasa gerobak gorengan milik Marjo biasa mangkal disitu bersama para pedagang kaki lima lainnya.

Hari itu baru beranjak siang. Dagangan Marjo belum banyak yang terjual. Tiba-tiba terdengar keriuhan di antara pedagang kaki lima itu. Mereka berlarian sambil mendorong gerobak masing-masing dengan terburu-buru.

Puluhan petugas tramtib tanpa pemberitahuan terlebih dahulu tiba-tiba melakukan razia di tempat mereka mangkal. Mereka mengatakan kalau di tempat itu tidak boleh ada yang berjualan, sebab dikhawatirkan akan mengganggu kendaraan umum yang lewat.

Orang-orang berseragam itu berloncatan dari atas truk. Tangan-tangan kasar mereka membawa pentungan dan tanpa belas kasihan menyeret gerobak-gerobak yang masih tertinggal.

Gerobak Marjopun tak luput dari cekalan. Ia kalah sigap. Ia bersama teman-teman sesama pedagang kaki lima sudah memohon-mohon kepada petugas tramtib agar tak membawa gerobaknya, sebab gerobak itulah yang menjadi sumber penghasilan mereka. Namun kata-kata mereka tak dihiraukan. Hanya pentungan kayu yang mendarat di kepalanya. Beruntung ia masih bisa melindungi kepalanya dengan dua tangannya.

“Dasar orang-orang  tak berperikemanusiaan !”, Umpatnya setelah truk-truk yang membawa gerobak-gerobak mereka melaju membelah kerumunan orang-orang. Di belakangnya debu-debu menari di antara keriuhan, menutupi matahari yang semakin kusam.

Sekarang Marjo hanya bisa kerja serabutan. Ia sudah tak punya modal untuk berjualan. Ia bekerja apa saja asal halal. Kadang jadi kuli panggul, tukang gali sumur, tukang loak atau pekerjaan kasar lainnya.

Seperti hari ini, Marjo mendapat pekerjaan jadi kuli panggul di Pasar Baru. Untuk mendapatkan pekerjaan itu ia mesti berebut dengan kuli-kuli yang lain. Penghasilannya pun tak seberapa.

Dulu, waktu ia masih jualan gorengan, setidaknya ia masih bisa membayar kontrakan rumah dan membiayai anaknya sekolah walaupun dengan penghasilan yang pas-pasan bahkan terkadang kurang. Tapi sekarang, penghasilannya masih terasa kurang walau hanya sekedar untuk mengepulkan asap dapur.

Beruntung ia mempunyai istri yang bisa mengerti keadaannya.

“Sabar Pak, segala sesuatu sudah ada yang ngatur, Gusti Allah nggak tidur, Dia pasti akan menolong kita”, begitu ucapan istrinya semalam.

“Tapi kita butuh makan Bu, butuh tempat tinggal, dan anak kita butuh pendidikan, Apa semua bisa dipenuhi hanya dengan sabar?”, suara Marjo meninggi. Sorot lampu lima watt di kamar sempit itu sedikit banyak menerangi wajahnya yang dipenuhi gurat-gurat kekesalan.

“Yang penting kita usaha Pak, pasti Allah kasih kita jalan”, sambung istrinya lagi. Marjo diam, berusaha merenungi ucapan istrinya. Dalam hati ia membenarkan juga kata-kata istrinya. Tapi jika ia ingat kembali peristiwa itu, kekesalan itu kembali membuncah. Rupanya kata-kata istrinya belum mampu meredam harapannya yang terluka.

***

Marjo pusing. Lelah tampak menggayut di wajahnya setelah seharian mengangkut barang-barang di pasar. Ia menyandarkan tubuh pada tembok di sudut pasar, melepas lelah.

Ia membayangkan wajah kampungnya yang sudah lama ia tinggalkan. Kadang terbersit keinginan untuk pulang dari pada hidup di kota tapi tak mempunyai pekerjaan. Bayangan aliran sugai yang berkilau-kilau dan hamparan sawah yang menghijau, pemandangan yang tak pernah dijumpainya di kota besar ini, membuatnya ingin menapaki kembali masa-masa di kampungnya dulu. Tapi apakah dengan hidup di kampung itu berarti ia akan kembali menjadi buruh tani? Pekerjaan yang tak bisa dibilang cukup untuk menghidupi anak istrinya?, Sementara beban hidup keluarganya kini semakin berat.

***

“Maaf  Pak, apakah Bapak bekerja di pasar ini?”. Tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

Suara itu tampak jelas dan tegas ditujukan padanya. Marjo mengangguk dengan tatapan heran. Siapa laki-laki ini?, Batin Marjo. lelaki berjas hitam, dengan dandanan perlente . Pasti orang kaya!, Pikirnya.

“Mmm, begini Pak, Bapak bekerja apa di pasar ini?, Laki-laki itu kembali bertanya, masih dengan suaranya yang tegas.

“Saya, saya hanya kuli panggul, Pak”, jawab Marjo sedikit takut.

“Penghasilan Bapak berapa per harinya?”

“Yaa, nggak tentu Pak, kadang 5000, kadang 10.000, kadang kalau nggak dapat kerjaan, bisa nggak dapat uang sama sekali”, Jawab Marjo lugu.

“Keluarga Bapak berapa orang?”

“Saya istrinya satu, anak satu, Pak”

“Dengan penghasilan Bapak itu, apa Bapak bisa mencukupi kebutuhan keluarga Bapak?”

Marjo hanya bisa menggeleng. Ada genangan air di pelupuk matanya.

“Sebenarnya saya dulu jualan gorengan, tapi gerobak saya kena razia”,  Marjo menceritakan semua kisahnya pada lelaki itu. Lelaki itu manggut-manggut, begitu prihatin dengan nasib Marjo.

Beberapa saat kemudian lelaki berjas hitam itu mengeluarkan segepok uang dari balik jasnya.

“Ini uang buat Bapak, Bapak boleh membelanjakan uang ini semau Bapak”, Laki-laki itu menjelaskan.

Marjo setengah tak percaya mendengar kata-kata itu. Dicernanya kembali satu demi satu kata-kata itu untuk memastikan kalau ia tak salah dengar.

Tangan Marjo gemetar menerima uang itu. Seumur hidup, baru kali ini ia memegang uang sebanyak itu. Segepok uang berupa pecahan seratus ribuan Sungguh, membayangkanpun ia tak pernah.

Orang-orang di pasar berdatangan mengerumuni Marjo. Mereka ingin melihat apa yang terjadi. Ada kamera yang disorot dari beberapa arah. Marjo kini sadar kalau dirinya sedang muncul di salah satu acara Reality Show sebuah stasiun televisi swasta. Ia sering menonton acara itu di TV milik tetangganya. Acara yang membagikan uang puluhan juta rupiah kepada orang-orang miskin seperti dia. Dulu ia sering membayangkan seandainya dialah yang terpilih menerima uang itu.

Tapi nasib baik memang sedang berpihak padanya. Buktinya, segepok uang itu kini benar-benar sudah ada di tangannya.

Rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membayar sewa rumah, biaya anaknya sekolah, dan sisanya untuk modal jualan.

Marjo senang bukan kepalang. Bibirnya mengulum senyum. “Alhamdulillah, alhamdulillah ya Allah”, Berulang kali ia mengucap syukur. Setitik air mata bahagia menetes dari sudut matanya.

“Jo…Marjo, sudah hampir maghrib tuh, bangun!”, Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya.

**********

November 200

#############################

BATIRKU KELUARGAKU

Cerpen : Ainun Nisa

Wis 8 tahun Citra,Oci lan Wulan kancaaan. Bocah telu mau diceluk nang batire gank com. Citra umure sing paling tua, Mulan sing paling enom lan Oci nang tengah-tengah. Anggota com lair tahun1995, Citra nang wulan Agustus, Wulan nang wulan Oktober lan Oci nang wulan September. Mbuh kebeneran apa pancen takdir tanggal lair anggota com kabeh pada yaiku tanggal 9.
2 tahun ganu com lulus bareng nang SD sing pada. Tapi bareng mlebu SMP sing beda-beda. Pancen wis pisah sekolah, nanging com isih akrab-akrab bae. Beda sekolah ora kudu ora bareng. Com esih sempat dolan bareng, sinau bareng lan liya-liyane. Sing jelas ana wektu go kumpul-kumpul.
Malam minggu com kumpul-kumpul nanggone Wulan. Wis 2 minggu com ora ketemu. Dadi bareng ketemu crita akeh banget.
“Aku ditembak cah lanang loh!” critane Crita.
“Sing bener bae masa cewe kayak koe ana sing seneng?” ledek Wulan.
“Kurang ajar yah koe. Tomboy-tomby sing penting ayu.” Crita bela.
“Ayu njabane tok. Njerone mbuh.”
“Insya Allah ayu njero jaba.”
“Amin.”
“Ditampa ora critane?” Oci takon.
“Ora.” Citra jawab.
“Lah sih, priwen?”
“Ora priwen-priwen. Pengin bae.”
“Mesti bocahe ora 3T, Takwa, Tampan, Tajir ya?”
“Ora bocahe ganteng koh, alim, mlarat sih. Aku, kowe lank owe ya mlarat bok!”
Bengi iku om mung ngrungokna lan aweh komentar nggo critane Citra. Oci sing mung aweh komentar, tapi Mulan deweke ora mung aweh komentar tapi ditambah karo ledekan-ledekan guyonan. Yah udu Mulan angger ora ngledek. Tapi ledekan munggo guyonan.
2 minggu berikute com ketemuan maning. Acarane crita karo mbahas acara nggo ngesuk. Rencanane ngesuk com arep piknik maring pancasan renang. Rencana disusun. Keputusan akhire sida renang mangkat jam 09.30 numpak bis.
Dina minggune. “Citra,” Oci nyeluk Citra. “Dalem mengko sit sedela.” Crita mangsuli. “Maaf suwe, yuh mangkat.” Citra lan Oci mangkat ngampiri Mulan. “Mulan sida ora.” Citra nyeluk Mulan. “Ya sida mengko lagi golet sandal.” Wang sulane Wulan. Ora let suwe Mulan teka. “Arep nganggo bis gede apa cilik?” takone Oci. “Bis gede bae. Baline nganggo bis cilik. Tapi sukur-sukur olih tebeng gratis,” Mulan sing mangsuli.
Com ngadang bis nang ngarep kiyos. Mangkate ahire nganggo bis asli. Padahal sedurunge asli, BSK karo teguh wis lewat, nanging Citra karo Mulan ora gelem. Jerene BSK karo teguh pecicilan.
Tekan nganah wis rame. Pancen ora sesek busek sih, tapi akeh wong. Bar ganti klambi, pemanasan sedela terus nyemplung. “Atis juga banyune,” komentare Mulan.
“Balapan yuk.” Tantange Citra.
“Balapan.” Oci ora mudeng.
“Iya balapan renang gaya bebas. Sekang kene maring nganah balik maning maring ngeneh. Paling adoh 25 meter bolak-balik dadi 50 meter.” Citra nerangna.
“Oke. Angger sih kalah, baline nukokna big bubble sebungkus-sebungkus, setuju?” Mulan balik nantang.
“Oke piwe ci. Oke ora?” Citra takon maring Oci.
“Oke.” Jawabe Oci.
“Deal.”
Com balapan gaya bebas. Citra sengaja ngajak balapan gaya bebas, soale deweke pengin buktiake angger deweke bisa renang 50 meter gaya bebas. Yah etung-etung nggo pemanasan, pikire Citra.
Ceritane Citra arep melu lomba renang gaya bebas. Balapan karo om bisa nggo latian. Angger munggo dolana ya Citra ora menang pikire Citra. Soale nang kono ana Oci. Mbiyen Oci sing marahi Mulan lan Citra gaya bebas. Banjur Citra tan njajal kemampuane Oci.
Terkadang penam pilan menipu. Oci perawakae gendut, Mandan duwur lan ayu njero njaba. Oci pancen gendut tapi angger kon balapan gaya bebas nganti siki Citra lan Mulan urung bisa ngalahna.
Mulan mimpin. Citra nomer loro. Oci nomer telu. Tapi bareng wis telung prapat kolam, Oci mulai ngudak akhire Oci sing mimpin. Tekan finis Oci isih mimpin. Juarane Oci, nomer loro Citra, Mulan nomer telu.
“Yah! Maning-maning Oci sing menang.” Ujare Wulan karo ngos-ngosan.
“Iya padahal mau kowe ning buri dewek,” Citra nimpali karo nyenggol pundake Oci.
“Aku diwarahi ¾ lapangan alon-alon bae disit, luwihane mulih banter,” Oci njawab.
“Iya ya. Angger mulane wis banter mengko suwe-suwe dadi alon, soale wis kesel disit,” Citra beneraken omongane Oci.
“Mesti ora mung kue tok, ya mbok?” gentian Mulan sing takon.
“Iya bener. Aku diwarahi gurune, angger balapan mbuh kuwe lomba mbuh kuwe mung latihan aja mikir aku kudu nomer siji. Yah kan prinsipe aku niat, berdoa, usaha, tawakal. Nganti siki angger diajak balapan niatku nggolet ilmu lan menang juara 2 ora masalah, tapi angger bisa juara siji. Angger wis niyat kaya kuwe aku berdoa semoga diparingi kekuatan lan keselamatan. Gari usaha wujudake niat. Angger wis usaha aku gari tawakal. Insya Allah angger niate apik usahane temen, apa sing dipinginake terwujud,” jawab Oci dawa lan amba.
“Kapan-kapan tak jajal ah,”piker Citra lan Mulan.
Wis puas renang com bali. Baline nganggo bis Renny. Alhamdulilah tekan omah slamet.
Bengi berikute, Com kumpul-kumpul maning. “ Untung ngesuk pre,” ujare Oci. “Iya yah. Tumben koe seneng prei,” Mulan mulai menggoda. “yah sekali-kali pengi pre sue.” Wangsulane Oci. “Selama in iwis kopang kaping prei sue,” Citra berkomentar. “Ya pancen sih. Tapi angger lagi prei sue, sekolah renange ora prei.” “Iya yah angger prei sue koe mesti ra ning umah. Kecuali prei lebaran lan lebaran aji,” Mulan mbenerake omonge Oci. “Tapi kok siki koe prei. Biasane tahun baru ora prei.” “Jere gurune bok pengin tahun baruan karo keluarga. Dasar gurune yaw is sue ora tahun baruan ning dalem.”
Sepi kabeh meneng Com deleng bintag karo turuan. Com wis janjian malem tahun baru kemah nang ngarep markas. Markas Com yaiku halaman rumput mini gawean Com. Bar ngadekna tenda nggelar klasa turunan ning duwure.
Jam 00.01 Com nyumet kembang api air mancur. Seneng sih tapi ora brisik, soale com wedi mbok nggugah wong lagi turu.
“Happy new year. Make a wish for this year,” omonge Citra sok bule.
“Sok bule lah koe,” ledek Mulan
“He…..he…he… oke. Make a wish. I first. Tahun kiye semoga sekolahku lancer, lomba renangku sukses, Com tetep bareng, rezeki bapak ibu tambah akeh, lan kabeh sing tak cintai di paring slamet lan sehat nang gusti ALLAH, doane Citra.
“Semoga tahun kiyeh sekolahku lancer, olih pacar, bapak ibu rezekine tambah akeh, Com tetep bareng lan kabeh sing tak sayangi slamet lan sehat,” doane Mulan.
“Semoga tahun kiyeh sekolahku lancer, Com tetep bareng, bapak ibu rezekine tambah akeh, kabeh sing tak kenal slamet lan sehat,lan semoga awal tahun kiye aku diparingi kesenengan, tengah tahun kiyeh diparingi keberuntungan lan ahir tahun kiyeh diparingi kesuksesan” doane Oci.
“Ora kerasa wis 7 tahun Com ana. Dewek pancen wis batiran 8 tahun, tapi Com resmi ngadek 7 tahun ganu,” ujare Mulan.
“Iya yah. Arep tekan apa Com ana yah?” ujare Citra.
“Insya Allah selama-lamanya. Tekan koe lan koe badha bali nganah. Walaupun koe padha mung batirku tapi nang atiku koe pada sedulurku, mbak yu lan adiku, keluargaku,” ujare Oci.
“Pas karo prinsip Com. Batirku keluargaku.” Ujare Mulan.
“Ya Batirku Keluargaku.” Ujare Citra lan Oci barengan.

Petilasan Eyang Pertapa Tentang Sabar…^^

By Yulyani Dewi

Suatu hari seorang pertapa tua, menyuruh muridnya mengisi baskom-baskom air yg beraneka ukuran.
Baskom yg pertama berukuran sangat kecil berikutnya dst semakin besar sampai dengan baskom paling besar.
Sang murid diperintah mengambil air sumber dr tempat yg jauh di puncak gunung dgn pikulan yg berat.
Kemudian setiap hari dia disuruh mengisi seluruh baskom yg ada, hingga semua penuh dan tumpah kecuali baskom yg paling besar, setelah itu dia menyuruh menaruh air dari baskom-baskom kecil ke dalam baskom besar. Sampai habis, namun anehnya baskom besar mampu menampung seluruh baskom dan tidak tumpah malah masih ada ruang yg bersisa didalamnya.
Sang murid yang kelelahan karena setiap hari di suruh melakukan hal yang sama sampai berbulan-bulan bertanya.
“Wahai Guru, kenapa kamu menyuruh saya melakukan hal yang konyol ini berulang-ulang hingga berbulan-bulan dan saya sama sekali tidak mengerti manfaat dari semua ini, padahal saya berguru pada Guru untuk mendapatkan ilmu, bukan malah disuruh menimba air kemudian mengisi baskom-baskom dengan air”, kata muridnya sambil mengatur nafasnya.
Tiba-tiba guru tersebut datang. Membawa cermin, sambil terkekeh dia menyuruh murid tersebut berkaca. Setelah itu dia berkata “Lihatlah bentuk badanmu yang kian tegap setiap hari dan sehat dibandingkan dirimu pertama kali datang ke pertapaan kurus kering dan pucat”.
Sang murid tertegun dan kemudian tersenyum, memang secara fisik dia telah berubah. Dan dia senang dengan penampilannya sekarang. Namun dia tetap kecewa, “Tapi guru saya tetap belum mengerti pelajaran apa yg bisa saya petik dari tradisi mondar-mandirnya saya membawa air dari puncak gunung menggunakan pikulan kemudian mengisi baskom-baskom kecuali baskom yang besar”.
Sang Guru kembali terkekeh, kemudian dia menepuk-nepuk bahu muridnya sambil berkata,”Taukah kau muridku, aku sedang mengajarimu pelajaran yang paling berharga di dunia ini lebih berharga dari terbentuknya fisikmu menjadi lebih baik dan sehat ataupun lelahnya dirimu setiap hari selama berbulan-bulan itu. Taukah kau?. Aku sedang mengajarimu ilmunya kehidupan yang tidak akan pernah berhenti kau pelajari yaitu ilmu “SABAR”. Taukah kau?. Maksud dari baskom dengan berbagai ukuran itu?”. Si murid langsung menggelengkan kepala.
Sang guru tersenyum, bergerak berlahan sambil memegang baskom terkecil dia berkata.
“Lihatlah muridku, baskom yg terkecil ini. Selalu kau isi dengan air hingga tumpah bukan?”.
Si murid mengangguk.
” Begitu juga baskom berikutnya, kecuali baskom yg besar, bukan begitu?”
Si murid mengangguk lagi.
Sang guru kemudian memengang janggutnya sambil tersenyum seraya memandang sang murid..
Muridku demikian pulalah kesabaran manusia.
Kesabaran itu ibarat wadah baskom ini. Dan masalah ibarat air.
Air menempati seluruh baskom artinya masalah dalam kehidupan manusia terus bergulir tidak pernah berhenti sampai dengan dia meninggal dunia.
Bayangkan saja jika tetap dalam baskom kecil air akan terus tumpah, begitu juga masalah jika terus dibiarkan dalam suatu wadah kecil atau kesabaran yang kecil lama-lama ia akan tumpah pula. Maka meledaklah amarah. Tapi coba kita tuang air dalam baskom yang lebih besar dan mengisinya lagi dengan takaran air pada baskom yang pertama maka air akan terisi dan tidak akan tumpah bahkan masih ada ruang lebih untuk disisi air. Begitu seterusnya.
Kau tahu artinya?.”
Sang Murid berpikir sebentar kemudian menjawab
” Jadi kesabaran ibarat baskom dia harus terus di perbesar agar dapat menampung masalah yang lebih besar sampai kemudian masalah menjadi kecil dalam wadah kesabaran yang semakin besar, dan setelah itu semua akan serasa ringan. Demikian?. ”
Sang Guru tersenyum kemudian menjawab , “iya”.
Sang murid ikut tersenyum sambil menganguk-angguk puas memahami filosofi hidup yang diajarkan gurunya.

“TERNYATA KESABARAN ITU BERPROSES DAN BISA TERUS DI ASAH DENGAN BERJALANNYA WAKTU DAN JUGA PENGALAMAN YANG KITA PUNYA DIA BISA TERUS DIKEMBANGKAN MENJADI LEBIH BESAR DAN LEBIH BESAR LAGI, tergantung kemampuan dan kemauan kita, mau atau tidak mengembangkan kesabaran dalam diri kita…”
Setuju?!!! Hehehe

14 pemikiran pada “CERPEN

  1. Persahabatan yg indah…. Gawe penasaran kakak Dewa,critanya…saya tggu sesion keduanya..

    • Terima kasih atas kunjuannya. Tulisan ini di tulis oleh Ainun Nisa anak SMP Negeri 1 Ajibarang. Saya hanya pengetik ulang saja.

  2. Kuwe sepengetahuan penulise ora wa? Deneng dudu karyamu dewek sih?

  3. Ayo dunk suliz tggu cerpen karya kak Dewa..

    • Lah ini ada cerpen yang baru mungkin bisa ada lanjutanya. Kasih komentar dong, walau ini titipan dari penulisnya langsung. Dia minta kritik dan sarannya. Terima Kasih atas kunjuannya.

  4. Itu karya-karya siapa saja? Dicantumin donk nama penulisnya. Mana karyamu, Wa?

    • Yang tidak ada nama pembuatnya setelah judul tulisan itu tandanya punya pemilik blog ini. Malum ga pengin tenar yang harus tenar itu blognya saja.

  5. Cerpenmu itu kisah nyata ya, Wa?

  6. Kuwe cerpen mu sing judule ketiban sial, deng kejedoran mercon putih? Bukane nek kejedoran mercon ireng karna geseng…..? Udu mercon ndean kuwe, tapi balon di isi glepung, wkwkwkwkwkkkk…..anu pengalaman pribadi ya?

  7. kok dikit aj sich ^_^ ?

    ??.,,

  8. keeereeeeennn bngaet

Tinggalkan komentar